Penahanan ijazah merupakan praktik yang kerap dilakukan perusahaan sebagai syarat mempekerjakan karyawan kontrak berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Alasannya, perusahaan ingin karyawan tersebut menyelesaikan
kontrak kerja sesuai jangka waktu yang telah disepakati dan tidak berhenti di
tengah jalan. Hal ini bisa jadi merugikan perusahaan.
Dengan menahan ijazah, karyawan tidak akan meninggalkan pekerjaan sebelum membayar ganti rugi ke perusahaan. Atau, setidaknya cara ini akan membuat karyawan berpikir dua kali sebelum memutus perjanjian secara sepihak.
Bolehkah praktik semacam ini? Jika
termasuk pelanggaran hukum, apa sanksi
perusahaan yang menahan ijazah karyawan?
Secara hukum, tidak ada dasar dan ketentuan yang
mengatur hal ini di dalam UU Naker No 13 Tahun 2003,
bahkan di pasal-pasal PKWT. Pun, tidak ditemukan aturannya dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PKWT.
Namun, beberapa ahli hukum berpendapat bahwa
praktik ini tidak melanggar hukum selama disepakati oleh kedua pihak, yakni
pemberi kerja dan pekerja, dan diatur dalam perjanjian kerja. Pendapat ini
didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang
dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, maka secara hukum para pihak wajib memenuhi isi perjanjian
yang telah disepakati.
Syarat sah perjanjian kerja disebutkan
dalam Pasal 1320 yaitu:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Suatu pokok persoalan tertentu
- Suatu sebab yang tidak terlarang
Selama syarat itu dipenuhi, maka perjanjian sah dan
mengikat, termasuk jika di dalamnya menyepakati penahanan ijazah karyawan
sampai masa berakhirnya kontrak.
Kapan
penahanan ijazah jadi masalah hukum?
Penahanan ijazah baru menjadi masalah hukum apabila
karyawan yang mengakhiri kontrak sepihak telah membayar ganti rugi, atau
kontrak telah habis jangka waktunya, tapi ijazah karyawan tidak dikembalikan.
Sanksi perusahaan yang menahan ijazah seperti itu adalah sanksi pidana.
Perusahaan dapat dilaporkan ke kepolisian dengan
dugaan penggelapan, yang menurut KUHP, adalah perbuatan mengambil barang milik
orang lain sebagian atau seluruhnya, di mana penguasaan atas barang itu sudah
ada pada pelaku dan penguasaan itu dilakukan secara sah (misalnya dititipkan,
dikuasakan, dan sebagainya).
Dalam kasus penahanan ijazah, yang penguasaannya
berdasarkan perjanjian kerja, maka menurut Pasal 374 KUHP, pengusaha dapat
diancam pidana kurungan maksimal 5 tahun.
Penggelapan yang dilakukan oleh
orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan
kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Beberapa praktisi hukum tidak menyarankan menahan
ijazah sebagai solusi untuk membuat karyawan tunduk pada kontrak kerja. Sebab,
tanpa menahan ijazah, kontrak tersebut berkekuatan hukum dan bisa menjadi bukti
di pengadilan apabila karyawan mengingkari perjanjian.
Lagipula, menahan ijazah memberikan risiko hukum
apabila dokumen tersebut hilang atau rusak. Karyawan bisa mengajukan gugatan
hukum terhadap perusahaan atas kelalaian tersebut.
Komentar
Posting Komentar