Outsourcing atau sering disebut Alih Daya merupakan pengalihan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati antara perusahaan alih daya dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pekerja yang dipekerjakan dalam kegiatan alih daya/pekerja
outsourcing memiliki karakteristik utama yakni tidak memiliki perjanjian kerja
langsung dengan perusahaan tempatnya bekerja. Pekerja terikat perjanjian kerja
dengan perusahaan alih daya yang telah memiliki perjanjian pengalihan pekerjaan
dengan perusahaan tempatnya bekerja. Perlindungan pekerja, upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta bila dikemudian hari terjadi
perselisihan yang timbul, menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Dengan
sistem kerja demikian pekerja rentan mengalami kondisi kerja yang tidak tentu,
tidak aman, tidak pasti, dan tanpa perlindungan. Oleh karenanya penting
mengetahui batasan, syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja, perusahaan alih
daya, dan perusahaan pemberi kerja, berikut ini.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN OUTSOURCING?
Outsourcing berasal dari Kata out dan source Kata out yang
berarti “luar” dan kata source yang berarti “sumber“ Jika diartikan secara
harfiah outsourcing adalah sumber dari luar. Terjemahan bebas dari outsourcing
dapat diartikan sebagai penunjukan pihak dari luar perusahaan untuk
melaksanakan pekerjaan atau menyediakan barang bagi kepentingan perusahaan
tersebut.
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang untuk pertama kali membuka sistem kerja outsourcing di
Indonesia menyebut, Outsourcing atau Alih Daya sebagai kondisi dimana
perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang
dibuat secara tertulis. Aturan ini dicabut oleh UU No. 11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja jo. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) yang
menyebut alih daya adalah pengalihan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian
yang disepakati antara perusahaan alih daya dengan Perusahaan pemberi pekerjaan
APAKAH UNDANG-UNDANG MENGATUR MENGENAI PERJANJIAN KERJA
ANTARA PEKERJA OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN OUTSOURCING?
Ya. Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan outsourcing, diatur dalam pasal 66 ayat (1) UU 13/2003 jo UU
11/2020 yakni bahwa hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Lebih lanjut pasal 18 dan 19 PP 35/2021 mengatur
ketentuan perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing,
sebagai berikut:
Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan
sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan
menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya, diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja tersebut harus
mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi
pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
Persyaratan ini merupakan jaminan atas kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh
yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT dalam Perusahaan Alih Daya.
Perusahaan Alih Daya harus berbentuk badan hukum dan wajib
memenuhi perizinan berusaha, norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan
berusaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
BAGAIMANA SISTEM KERJA OUTSOURCING?
Perusahaan Alih Daya yang merupakan badan usaha berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu membuat
perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Sedangkan
pekerja meski sehari-hari bekerja di lokasi kerja perusahaan pemberi kerja
namun tidak memiliki perjanjian kerja langsung dengan perusahaan pemberi kerja
melainkan dengan perusahaan alih daya. Atau dengan kata lain pekerja menjadi
tanggung jawab perusahaan alih daya.
APA SAJA SYARAT PERUSAHAAN OUTSOURCING/ALIH DAYA?
Pasal 20 PP 35/2021 menyebutkan setidaknya ada 2 hal yang
menjadi syarat untuk mendirikan perusahaan outsourcing yakni:
Perusahaan Alih Daya harus berbentuk badan hukum, dan
Wajib memenuhi perizinan berusaha, norma, standar, prosedur,
dan kriteria perizinan berusaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut karena belum diatur dalam UU No. 11/2020 jo PP
35/2021, maka masih berlaku ketentuan lama mengenai persyaratan perusahaan
outsourcing sebagaimana diatur dalam Permenaker No. 19 Tahun 2012 jo Permenaker
No. 11 Tahun 2019 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, sebagai berikut:
Izin Usaha Perusahaan Jasa Penyediaan Pekerjaan (JPP)
berlaku di seluruh Indonesia dan berlaku selama Perusahaan JPP menjalankan
usaha.
Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja antara
perusahaan JPP dengan perusahaan pemberi kerja didaftarkan pada Disnaker
Kabupaten/Kota tempat pekerjaan dilakukan
Perusahaan JPP wajib membuat Perjanjian Kerja (PKWTT atau
PKWT) dengan pekerjanya dan perjanjian kerja tersebut wajib dicatatkan kepada
Disnaker Kabupaten/Kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
APA SAJA JENIS PEKERJAAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEKERJA
OUTSOURCING?
Paska Omnibus Law UU No. 11/2020 jo PP 35/2021, alih daya
tidak lagi dibedakan antara Pemborongan Pekerjaan (job supply) atau Penyediaan
Jasa Pekerja (labour supply). Alih Daya
tidak lagi dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang (non core business)
sehingga tidak ada lagi pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
Jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan tergantung pada kebutuhan sektor.
Aturan ini berbeda dengan UU No. 13 Tahun 2003 jo Permenaker
No. 19/2012 jo Permenaker No. 11/2019 yang memberi batasan pada perjanjian jasa
penyedia pekerjaan, jenis pekerjaan dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang
(non core business), yakni terbatas pada: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga
pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan
dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja.
Perluasan sistem kerja outsourcing ini mendapatkan banyak
penolakan dari serikat buruh, mengingat sebelum omnibus law, sistem kerja ini
pada prakteknya diberlakukan bagi berbagai jenis pekerjaan (baik pekerjaan
utama maupun penunjang) karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan. Dan saat
ini perluasan tersebut dilegalkan dengan omnibus law.
BAGAIMANA HUBUNGAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN OUTSOURCING
DENGAN PEKERJA OUTSOURCING?
Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja
outsourcing dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ketentuan ini berbeda dengan UU 13/2003
yang menyebut perjanjian kerja hanya menggunakan PKWT. Meski kemudian mengenai
hal ini telah dicabut oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011
tanggal 17 Januari 2012 kemudian diterbitkan Permenaker No. 19/2012 jo
Permenaker No. 11/2019 yang dimaksudkan untuk merevisi aturan outsourcing
sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
BAGAIMANA HUBUNGAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PEMBERI KERJA
DENGAN PEKERJA OUTSOURCING?
Meski sehari-hari pekerja outsourcing bekerja di lokasi
kerja perusahaan pemberi kerja namun pekerja outsourcing tidak memiliki
perjanjian kerja langsung dengan perusahaan pemberi kerja. Perlindungan pekerja, upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, serta bila dikemudian hari terjadi perselisihan yang
timbul, menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing.
APA SAJA ISI DARI PERJANJIAN KERJA ANTARA PEKERJA
OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN OUTSOURCING?
Perjanjian kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan
outsourcing dapat berdasarkan PKWT atau PKWTT. Mengenai isi dari kedua jenis
perjanjian ini, dapat merujuk pada isi perjanjian kerja PKWT yang paling
sedikit memuat (pasal 13 PP 35/2021):
Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja
Jabatan atau jenis pekerjaan
Tempat pekerjaan
Besaran dan cara pembayaran upah
Hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan syarat kerja yang diatur dalam peraturan
perusahaan atau peraturan kerja bersama
Mulai dan jangka waktu berlakunya PKWT atau mulai berlakunya
PKWTT
Tempat dan tanggal PKWT/PKWTT
Tanda tangan para pihak dalam PKWT/PKWTT
Serta penegasan pada pasal 19 PP 35/2021 yang menyebut dalam
hal Perusahaan Alih Daya mempekerjakan Pekerja/Buruh berdasarkan PKWT maka
Perjanjian Kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi
Pekerja/Buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya dan sepanjang
obyek pekerjaannya tetap ada. Hal ini dimaksudkan sebagai jaminan atas
kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT
dalam Perusahaan Alih Daya. Dalam hal Pekerja/Buruh tidak memperoleh jaminan
atas kelangsungan bekerja sebagaimana dimaksud, Perusahaan Alih Daya
bertanggung jawab atas pemenuhan hak Pekerja/Buruh.
BAGAIMANA PERLINDUNGAN UPAH BAGI PEKERJA OUTSOURCING?
Dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021, Perlindungan
terhadap pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dalam perjanjian kerja antara perusahaan alih daya
(outsourcing) dengan pekerjanya dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan
alih daya. Sesuai dengan ketentuan yang
dimaksud yakni dalam pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2021
tentang Pengupahan (PP 36/2021) yang menyebut pengusaha dilarang membayar Upah
lebih rendah dari Upah minimum.
APAKAH HAK-HAK PEKERJA OUTSOURCING MENJADI TANGGUNG JAWAB
PERUSAHAAN PEMBERI KERJA ATAU PERUSAHAAN OUTSOURCING?
Perusahaan Alih Daya bertanggung jawab atas pemenuhan
hak-hak pekerjanya. Perlindungan Pekerja, Upah, Kesejahteraan, Syarat Kerja,
dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Alih Daya serta dapat
diatur dalam Perjanjian Kerja dan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja
Bersama di perusahaan alih daya (pasal 66 UU 13/2003 dan pasal 18 PP 35/2021).
APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING APABILA
TERJADI PERSELISIHAN?
Apabila terjadi perselisihan antara pekerja outsourcing
dengan perusahaan, maka hal ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya Perusahaan
Alih Daya, hal ini tercantum dalam pasal 18 ayat (3). Lebih lanjut disebutkan
bahwa perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, adapun ketentuan perundang-undangan yang dimaksud adalah
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU
No. 2 tahun 2004.
APAKAH PEKERJA OUTSOURCING MENDAPAT HAK DAN/ATAU FASILITAS
YANG SAMA DENGAN PEKERJA DI PERUSAHAAN PEMBERI PEKERJAAN?
Pada pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebelumnya
dicantumkan bahwa dalam hal perjanjian kerja, perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan. Atau artinya pekerja outsourcing yang tidak
dipenuhi haknya oleh perusahaan outsourcing demi hukum harus memperoleh hak dan
fasilitas yang sama dengan pekerja di perusahaan pemberi kerja. Akan tetapi,
ketentuan tersebut telah dihapus oleh UU Cipta Kerja. Perlindungan
pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja pekerja outsourcing
sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing.
Oleh karena pemenuhan dan perlindungan hak-hak pekerja pada
perusahaan outsourcing menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing, maka
hal-hal seperti bonus, tunjangan, dsb. merupakan tanggung jawab perusahaan
outsourcing yang ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja antara pekerja
outsourcing dan perusahaan outsourcing. Serta dalam Peraturan Perusahaan
dan/atau Perjanjian Kerja Bersama perusahaan outsourcing tersebut.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN “DALAM HAL PEKERJA OUTSOURCING
BERSTATUS PKWT, MAKA PERJANJIAN KERJA HARUS MENSYARATKAN PENGALIHAN
PERLINDUNGAN HAK-HAK BAGI PEKERJA OUTSOURCING”?
Pasal 66 ayat (3) UU 13/2003 dan pasal 19 ayat (1) PP
35/2021) mengatur dalam hal pekerja outsourcing berstatus PKWT maka perjanjian
kerjanya harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh,
apabila terjadi pergantian perusahaan Alih Daya dan sepanjang objek
pekerjaannya tetap pada (pekerjaan tersebut masih ada pada perusahaan pemberi
pekerjaan yang sama). Pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh ini
artinya perusahaan Alih Daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh perusahaan Alih
Daya sebelumnya. Persyaratan pengalihan perlindungan hak ini merupakan jaminan
atas kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan
PKWT dalam Perusahaan Alih Daya.
APAKAH PEKERJA OUTSOURCING JUGA BERHAK MENDAPATKAN
KOMPENSASI DAN/ATAU PESANGON APABILA HUBUNGAN KERJA BERAKHIR?
Perjanjian kerja antara pekerja outsourcing dengan
perusahaan outsourcing dapat berdasarkan PKWT atau PKWTT. Oleh karenanya dalam
hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, pekerja outsourcing yang berstatus PKWT
yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 bulan secara terus-menerus
berhak mendapatkan uang kompensasi
(pasal 61 A UU 13/2003 jo. pasal 15 ayat PP 35/2021). Demikian pula bagi
pekerja outsourcing yang berstatus PKWTT berhak atas kompensasi PHK sebagaimana
ketentuan PP 35/2021 pada bagian Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja (pasal 40
sampai dengan 59).
Sumber:
·
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
·
Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
·
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja
·
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain
·
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 11 Tahun
2019 tentang Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012
tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain
·
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021
tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
·
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang
Pengupahan
Komentar
Posting Komentar