Hubungan Kemitraan
Kedudukan sebagai mitra kerja sebagaimana Anda sebutkan pada
dasarnya timbul dari adanya hubungan kemitraan. Adapun definisi dari kemitraan
dapat kita temui dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU 20/2008”) yang
menyatakan sebagai berikut:
Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha,
baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
Selain didasarkan atas prinsip saling memerlukan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan sebagaimana disebutkan di
atas, para pihak dalam kemitraan mempunyai kedudukan hukum
yang setara.
Kemitraan tersebut dilaksanakan melalui pola:
- inti-plasma;
- subkontrak;
- waralaba;
- perdagangan
umum;
- distribusi
dan keagenan;
- rantai
pasok; dan
- bentuk
kemitraan lain, seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan
(joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Setiap bentuk kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (“UMKM”) dituangkan dalam perjanjian kemitraan, yang
minimal memuat:
- identitas
para pihak;
- kegiatan
usaha;
- hak
dan kewajiban para pihak;
- bentuk
pengembangan;
- jangka
waktu kemitraan;
- jangka
waktu dan mekanisme pembayaran; dan
- penyelesaian
perselisihan.
Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami
berdasarkan aturan-aturan yang dijelaskan di atas, hubungan mitra kerja adalah
hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian kemitraan, yaitu
kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas
dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Yang mana dalam hal ini, para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.
Beda Hubungan Kemitraan dan Hubungan Kerja
Meskipun definisi dari kemitraan telah jelas sebagaimana
disampaikan di atas, dalam praktik tak jarang terjadi kesalahan
pengklasifikasian hubungan hukum antara hubungan kemitraan atau hubungan kerja
yang didasarkan atas perjanjian kerja.
Bahkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Amin
Maulana dalam jurnalnya Penyelundupan Hukum dengan Menggunakan
Hubungan Kemitraan Pada Status yang Seharusnya Hubungan Kerja yang Dilakukan
oleh Perusahaan dengan Pekerjannya, dalam praktik terjadi penyelundupan
hukum yang dilakukan oleh perusahaan dengan menyebut hubungan hukum dengan
pekerja sebagai hubungan kemitraan, padahal sebenarnya merupakan hubungan kerja
Sebagai contoh, Amin mengutip Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
157/PHI/G/2008/PHI.PN.JKT.PST. Dalam kasus tersebut, sebuah perusahaan
telah melakukan penyelundupan hukum kepada pekerjanya dengan menggunakan
hubungan kemitraan pada status yang seharusnya hubungan kerja. Perusahaan
tersebut menganggap keempat pekerja supir bekerja atas dasar hubungan
kemitraan, sehingga ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak ada
kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan pesangon bagi mereka.
Setelah menelusuri lebih lanjut, kami mendapati bahwa
akhirnya kasus tersebut berakhir di tingkat Peninjauan Kembali (“PK”), yang
dimuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 103 PK/Pdt.Sus/2010. Pada
tingkat PK ini, salah satu alasan yang digunakan oleh perusahaan tersebut
adalah hubungan hukum antara para pengemudi dan perusahaan adalah bersifat
kemitraan, insidentil, dan freelance, sehingga bukan merupakan
hubungan industrial . Namun kemudian, Majelis Hakim menyatakan bahwa alasan
tersebut tidak dapat dibenarkan dan dalam amarnya menolak PK yang diajukan oleh
pemohon (perusahaan).
Untuk itu, penting untuk diketahui letak perbedaan antara
hubungan kemitraan dan hubungan kerja. Dalam hal ini, dikutip dari Saat
Hubungan Kemitraan Menjadi Hubungan Kerja, Agus Mulya Karsona,
pengajar Hukum Perburuhan Universitas Padjadjaran menjelaskan bahwa ada
perbedaan mendasar antara hubungan kemitraan dengan hubungan kerja .
Hubungan kemitraan, menurut Agus, bersifat lebih
mengedepankan mutualisme di antara para pihak. Prinsipnya, kemitraan
lebih menekankan pada hubungan saling menguntungkan, di mana posisi para pihak
setara. Berbeda dengan posisi majikan-buruh dalam hukum ketenagakerjaan
yang sifatnya atasan-bawahan .
Masih dari artikel yang sama, dalam sebuah kasus, Majelis
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta berpendapat bahwa sebuah
perusahaan telah salah kaprah dalam menerapkan perjanjian mitra kerja, karena
menurut Majelis Hakim hubungan antara soerang pekerja dengan perusahaannya
adalah sebagai hubungan kerja, mengingat penggugat (pekerja) mendapat
dari tergugat (perusahaan) pekerjaan, upah dan perintah.
Dengan demikian, hubungan kemitraan akan berubah menjadi
hubungan kerja apabila unsur-unsur hubungan kerja yaitu unsur pekerjaan, upah,
dan perintah telah terpenuhi. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sendiri, ketiga
unsur tersebut adalah unsur-unsur yang wajib ada dalam perjanjian kerja,
sebagai dasar adanya hubungan kerja.
Komentar
Posting Komentar